Tes Keperawanan, Apakah Perlukah?
















Wacana akan dilaksanakan tes keperawanan bagi pelajar SMA menuai pro dan kontra dari masyarakat. Wacana tersebut didasari temuan di lapangan ada dugaan pelajar putri yang terlibat dalam kasus perdagangan manusia dan pelacuran. Tidak dipungkiri fenomena arisan seks pelajar, pesta seks pelajar, prostitusi pelajar, mucikari pelajar, perdagangan orang, aborsi, kehamilan tidak diinginkan akibat seks bebas, married by accident, semakin mudanya umur pemohon dispensasi perkawinan, serta perceraian karena pernikahan dini, sangat mengoyak sendi-sendi kehidupan masa depan remaja. Padahal mereka adalah asset masa depan bangsa dan negara.

Munculnya ide tes keperawanan untuk mengatasi problem tersebut memicu pertanyaan-pertanyaan kritis dalam beberapa pertimbangan. Pertama, dasar penyelenggaraan tes. Berdasarkan Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional No 20 Tahun 2003, pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya dan masyarakat. Sedangkan salah satu prinsip pendidikan adalah sebagai suatu proses pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat.

Idealnya, pendidikan akan membentuk pribadi yang tidak akan melanggar larangan agama, kesusilaan sekaligus hukum seperti berzina, karena akan berdampak sosial bukan semata-mata individual bagi para pelakunya. Menjaga kesucian manusia dengan tidak melakukan aktifitas seksual yang terlarang juga menjadi bagian ketaatan akan hidup dalam tatanan budaya yang dianut. Saat kondisi yang dicita-citakan tidak tercapai apakah hal tersebut menjadi dasar dilakukan tes keperawanan untuk lebih menguatkan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian? Atau, tes dimaknai bagian dari pembudayaan anak didik? Sulit menarik korelasi yang erat antara dasar-dasar pendidikan dengan dengan urgensi melakukan tes.

Fenomena perkembangan dunia teknologi saat ini menunjukkan sisi negatif yang dibawa arus teknologi informasi semakin tidak terbendung. Banyak konten pornografi yang begitu mudah mengalir melalui telepon seluler. Serangan produk budaya yang berlandaskan nilai-nilai kebebasan juga semakin gencar menginfiltrasi aktivitas harian remaja. Belum lagi ekspose media atas beberapa perilaku menyimpang dari oknum pejabat, tokoh idola, atau pendidik yang seharusnya memberikan keteladanan justru melakukan perselingkuhan, kawin kilat, prostitusi, gratifikasi seks dan lain sebagainya. Remaja dihadapkan tantangan berat untuk tetap menjadi pribadi baik diantara kepungan pengaruh buruk. Perlu filosofi, materi dan metodologi yang tepat mendidik mereka menjadi sosok yang tangguh menghadapi dinamika kehidupan.

Kedua, definisi, kualifikasi dan persepsi perawan. Perawan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan belum pernah bersetubuh dengan laki-laki; masih murni (untuk anak perempuan). Kualifikasi perawan secara sederhana diukur secara fisik yakni masih utuhnya selaput dara. Persepsi tentang perawan di masyarakat seringkali dilekatkan dengan persepsi kesucian dan persepsi tentang perempuan baik-baik.

Bagaimana dengan perempuan yang melakukan hubungan seksual tetapi selaput daranya utuh? Apakah masih terkualifikasikan perawan dan terpersepsikan suci dan wanita baik-baik? Bagaimana pula dengan perempuan yang selaput daranya tidak utuh karena kecelakaan atau perkosaan? Definisi, kualifikasi dan persepsi perawan harus secara hati-hati diuraikan karena menyangkut dimensi agama, kesusilaan dan hukum. Kegagalan merumuskan secara tepat justru akan berdampak buruk dalam proses panjang pendidikan.

Penyebab ketidakperawanan juga memiliki banyak varian, bisa karena hubungan seksual suka sama suka, perkosaan, perdagangan maupun bukan karena hubungan seksual. Lebih jauh hubungan seksual suka sama suka maupun komersial yang dilakukan bisa disebabkan karena faktor ekonomi, pengaruh teman, tidak ada kepedulian keluarga, sekedar coba-coba, maupun kurangnya pemahaman agama dan kesehatan. Jika penyebab ketidakperawanan adalah perkosaan maka pelaksanaan tes justru akan menimbulkan persoalan. Korban akan mengalami trauma berlipat yakni saat perkosaan yang dialaminya, masih harus kembali membuka memori saat tes dan hasilnya masuk dalam “daftar tidak perawan”.

Ketiga, sudut pandang keadilan relasi laki-laki dan perempuan. Dalam hubungan seksual perempuan dan laki-laki sama-sama terlibat, meskipun secara fisik akibatnya cenderung pada perempuan. Namun menempatkan perempuan sebagai subyek tes justru berarti menjadikannya obyek tumpuan kesalahan. Hal ini menyalahi prinsip pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa.

Persepsi bahwa perempuan adalah obyek sangat tidak ramah perempuan. Logikanya, perempuan diatur ketat dan menimpakan hukuman pada satu pihak atas mungkin ketidaksalahan atau kesalahan minimal dua pihak. Keadilan tidak selalu sama persis, tapi secara jelas merujuk kata “hubungan” seksual tidak pernah terdefinisikan satu pihak. Apalagi jika hasil akhir dari tes ini bermuara untuk menentukan berhak tidaknya mengenyam pendidikan. Pendidikan adalah hak warganegara dan menjadi salah satu tugas pemerintah dalam upaya mencerdaskan kehidupan bangsa. Justru institusi pendidikan seharusnya tetap bertindak adil serta lebih intensif dalam mendidik perilaku siswanya.
Keempat, efektifitas solusi atas tujuan utama. Jika tes keperawanan ditujukan untuk mengurangi perilaku menyimpang seberapa besar dampak negatif yang ditimbulkan dibandingkan dengan efektifitas penyelesaian masalah. Tawaran solusi yang lebih filosofis sekaligus realistis adalah menguatkan pendidikan kesehatan reproduksi dan pendidikan agama terutama di sekolah dan keluarga. Tujuan pendidikan kesehatan reproduksi adalah agar remaja mengenal (1) pentingnya kesehatan reproduksi bagi masa depannya yang masih panjang (2) bagaimana menjaga alat alat reproduksinya tetap sehat; (3) perilaku yang membayakan kesehatan reproduksi serta (4) bagaimana menghindarkan diri terjerumus dalam perilaku menyimpang tersebut.

Pendidikan agama dalam hal ini secara khusus bertujuan membentuk pribadi yang kuat, dilandasi iman dan takwa akan menjauhi perbuatan yang dilarang. Sebagai contoh dalam Islam dikenal satu diantara prinsip tentang menjaga nasab (keturunan). Sebagai penjagaan terhadap nasab maka Islam mengharamkan perzinaan dan segala sarana yang mengantarkan kepada perbuatan tersebut seperti berbicara, melihat dan mendengarkan hal-hal yang haram yang memicu terjadinya perbuatan zina. Dampak perzinaan membawa kerusakan yang sangat besar misalnya ternodainya kehormatan dan harga diri seseorang, tercampurnya nasab dan keturunan secara tidak jelas, sehingga seorang anak dinasabkan kepada bukan ayahnya dan mewarisi dari selain kerabatnya. Selain itu perzinaan akan melunturkan kesakralan institusi pernikahan yang merupakan ikatan yang sangat kuat lahir batin, bukan kontraktual semata. Masih banyak lagi kerusakan yang timbul akibat perzinaan termasuk penularan penyakit seksual kepada keturunan yang tidak berdosa. Itulah sebabnya hubungan laki-laki dan perempuan diatur sedemikian rupa agar tatanan masyarakat senantiasa seimbang.

Penyampaian materi dan nilai-nilai pendidikan kesehatan reproduksi dan pendidikan agama, tidak harus selalu dengan model interaksi pendidik dengan anak didik. Sekolah perlu mengembangkan pendidik sebaya (peer educator) untuk melengkapi celah yang tidak tersentuh dalam interaksi guru dan siswa. Banyak remaja yang melakukan aktivitas seks bebas maupun prostitusi akibat bujukan dan pengaruh teman sebaya. Pentingnya pengaruh teman sebaya justru menjadi kata kunci untuk menggarap segmen ini sebagai bagian dari upaya pencegahan. Remaja seringkali lebih bebas membicarakan secara jujur dan terbuka kepada temannya seputar perilakunya dibandingkan dengan guru atau orang tua.

Menguatkan basis pendidikan di dalam keluarga juga menjadi kunci agar persoalan pendidikan tidak semata-mata ditumpukan pada guru di sekolah. Sebagian besar waktu remaja dihabiskan di sekolah dan rumah. Fenome arisan seks yang dilakukan di rumah dengan modus belajar kelompok atau aktivitas prostitusi dengan jaringan telepon genggam mengindikasikan semakin lemahnya kontrol keluarga. Peran dan sensitifitas orangtua untuk mendidik anaknya semakin lemah. Kedekatan anak dengan orangtua dalam komunikasi terbuka terutama soal perilaku dan pergaulan juga jarang intensitasnya.

Menyelamatkan generasi muda dari perilaku seks bebas dan menyimpang adalah tujuan mulia yang menuntut tanggung jawab kita bersama. Bukan hanya perlu, tetapi bahkan menjadi agenda mendesak. Namun demikian, menyelesaikan persoalan harus disertai dengan dasar yang kuat. Uraian pertimbangan sekaligus alternatif solusi menjadi tawaran untuk menyimpulkan perlu tidaknya tes keperawanan dilakukan.

Semoga artikel ini bermanfaat bagi teman teman semua salam junek.